HUKUM SHALAT JUM’AT BAGI PEREMPUAN
Beberapa waktu yang lalu, saat penulis sedang menjalankan tugas dari kampus yaitu Kuliah Kerja Nyata selama +35
hari di dusun Pagutan, desa Purwoharjo, kecamatan Samigaluh, kabupaten
Kulonprogo. Daerah tersebut dan sekitarnya penulis dapati saat
melaksanakan shalat Jum’at banyak jama’ah perempuan yang melaksanakan
atau ikut serta shalat Jum’at. Bahkan jama’ah perempuan lebih banyak
dari pada jama’ah laki-laki. Pada kesempatan lain, ada jama’ah
menanyakan soal hukum boleh tidaknya bagi perempuan shalat Jum’at.
Karena kedangkalan ilmu penulis, awalnya masih menganggap aneh kasus ini
tapi akhirnya penulis menemukan jawabannya.
Berhenti sampai disini, ada kasus yang lebih menggemparkan dunia Islam masih ingat dengan Amina Wadud? Itu tuh, wanita liberal yang menciptakan sensasi pada 2005 dengan menjadi imam shalat Jum’at di gereja Katedral di AS. Yang nyeleneh
lagi, makmum yang ikut-ikutan shalat di belakangnya tidak hanya kaum
perempuan, tapi banyak juga yang laki-laki. Tentu saja ibadah shalat
dengan makmum campur-aduk alias gado-gado ini menimbulkan kecaman dunia
Islam.
Tak cukup sampai di situ, tiga tahun
kemudian, tokoh kebanggaan kaum liberal yang juga profesor studi Islam
di Virginia Commonwealth University ini, kembali berulah. Wadud didapuk
sebagai imam shalat di Pusat Pendidikan Muslim di Oxford, Inggris pada
2008. Juga dengan makmum campur-aduk, laki-laki dan perempuan. Hebatnya
lagi, bak khatib Jum’at beneran, si Wadud juga memberikan khutbah singkat sebelum shalat dua rakaat. Beragam kecaman dari ulama Islam dunia menampar muka Wadud, namun ia tak ambil pusing.
Tulisan ringan ini, merupakan jawaban
dari persoalan dan pertanyaan yang pernah dilontarkan kepada penulis.
Pembahasan ini lebih khusus mengenai seutas hukum shalat Jum’at bagi
perempuan yang diambil dari beberapa sumber. Sebenarnya kajian mengenai
hukum shalat Jum’at bagi perempuan sudah dikaji dalam literatur kajian
Islam. Namun penulis hanya memaparkan kembali dengan bahasa yang
sederhana.
Dalil Shalat Jum’at
Perintah untuk melaksanakan shalat Jum’at ini terdapat dalam al-Qur’ân surat al-Jumu’ah [62]: 9, Allâh berfirman,
“9. Hai orang-orang beriman, apabila
diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada
mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS al-Jumu’ah [62]: 9)
Dalam hadits disebutkan, Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Shalat Jum’at itu adalah fardhu bagi setiap orang Muslim kecuali 4, yaitu orang sakit, hamba sahaya, orang musafir dan wanita.” (HR. Bukhari).
Dalam riwayat lain juga di sebutkan, hadits dari Thariq bin Syihab dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam,
عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْجُمُعَةُ حَقٌّ
وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلَّا أَرْبَعَةً عَبْدٌ
مَمْلُوكٌ أَوْ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيضٌ قَالَ أَبُو دَاوُد
طَارِقُ بْنُ شِهَابٍ قَدْ رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَلَمْ يَسْمَعْ مِنْهُ شَيْئًا.رواه أبو داود
Dari Thariq bin Syihab, dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
“Jum’at itu wajib atas setiap Muslim dengan berjama’ah, kecuali empat
golongan, yaitu hamba sahaya, perempuan, anak-anak dan orang sakit.” Abu Daud berkata, “Thariq bin Syihab benar-benar melihat Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam, namun belum pernah mendengar sesuatu pun dari beliau.” (HR Abu Dawud, No. 1067)
Tidak wajibnya shalat jum’at bagi
beberapa orang yang telah disebutkan hadits di atas, kalau dilihat
lebih jauh ada dalil yang mendukung tidak wajibnya shalat Jum’at bagi
perempuan adalah hadits Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa Sallam yang menunjukkan keutamaan shalat di rumah bagi perempuan dibanding shalatnya di masjid (yang artinya), “Shalatnya
salah seorang dari kalian di makhda’nya (kamar khusus yang dipergunakan
untuk menyimpan barang berharga) lebih utama daripada shalatnya di
kamarnya. Dan shalat di kamarnya lebih utama daripada shalatnya di
rumahnya. Dan shalatnya di rumahnya lebih utama daripada shalat di
masjid kaumnya. Dan shalat di masjid kaumnya lebih utama daripada
shalatnya bersamaku.” (HR Ahmad, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban)
Berdasarkan dalil hukum di atas, shalat Jum’at wajib bagi laki-laki yang sudah baligh dan berakal kecuali
ada hal yang menghalanginya untuk menjalankan shalat Jum’at di masjid.
Hukum shalat Jum’at bagi perempuan kalau kita merujuk pada dalil
tersebut di atas tidaklah wajib.
Dalam majalah Swara Qur’an[5] dipaparkan yang intinya shalat Jum’at bagi perempuan tidak wajib dengan dua alasan:
Pertama, hadits dari Thariq bin Syihab dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Shalat
Jum’at itu wajib bagi setiap Muslim dengan berjama’ah kecuali untuk
jenis orang. Mereka adalah budak, wanita, anak kecil, dan orang yang
sedang sakit.” (HR Abu Dawud)
Kedua, kesepakatan para ulama. Ulama
bersepakat bahwa shalat Jum’at bagi perempuan tidak wajib. Ibnu
Khuzaimah berkata dalam shahihnya 3/112, “Kesepakatan para ulama
mengenai tidak wajibnya shalat Jum’at bagi wanita sudah cukup menjadi
dalil tanpa menukil hadits khusus mengenai hal tersebut”.
Berdasarkan dua dalil di atas, jelas
kiranya bahwa shalat Jum’at tidak wajib bagi perempuan. Sedangkan surat
al-Jumu’ah [62]: 9 tidak bertentangan dengan hadits, karena ayat ini
bersifat umum, sedangkan sudah terdapat hadits shahih yang mengkhususkan
dan mengecualikannya. Padahal dalil yang bersifat khusus lebih
didahulukan dari pada dalil yang bersifat umum.
Namun apabila seorang perempuan telah
mengerjakan shalat Jum’at bersama Imam (di masjid) maka shalatnya sah
dan tidak perlu lagi mengerjakan shalat Zhuhur. Demikian yang disepakati
para ulama sebagaimana disebutkan Imam al-Nawawi dalam al-Majmu’ Syahr al-Muhadzdzab (4/495).
Apa Kata Ulama
Al-Khathabi dalam Ma’allim al-Sunnah, 1/644 berkata, “Para
ahli fiqih bersepakat bahwa kaum perempuan tidak wajib menghadiri
shalat Jum’at.” Dalam al-Mughni 2/338 Ibnu Qudamah menyatakan, “Mengenai
perempuan tidak ada perbedaan pendapat bahwa shalat Jum’at tidak wajib
bagi perempuan.”
Dalam Jami’ al-Ahkam al-Nisâ V/105, Syaikh Musthafa al-Adawi mengatakan, “Menghadiri
shalat Jum’at bagi kaum perempuan tidak wajib. Para ulama pun sudah
menyepakati hal ini. Seluruh pendapat mereka sama tentang hal ini.
Bahkan terdapat beberapa hadits yang menunjukkan bahwa shalat Jum’at
tidak wajib bagi mereka.”
Akan tetapi terdapat pembicaraan tentang
kedhaifan hadits-hadits tersebut. Meskipun demikian, komentar yang
tepat tentang hal ini, sebagaimana perkataan Ibnu Khuzaimah, “Dalil
bahwasannya Allâh memerintahkan shalat Jum’at ketika terdengar adzan
sebagaimana firman Allâh dalam surat al-Jum’ah [62]: 9, hanya khusus
untuk laki-laki, bukan untuk perempuan adalah hadits, andai hadits
tersebut shahih secara sanad. Andai hadits tersebut tidak shahih maka
kesepakatan para ulama tentang tidak wajibnya shalat Jum’at bagi
perempuan sudah mencukupi untuk menjadi dalil tanpa menukil hadits
khusus mengenai hal tersebut.”
Lajnah Daimah (komite ulama saudi) mengatakan, “Shalat
Jum’at bagi perempuan tidak wajib, akan tetapi jika ada seorang
perempuan yang turut mengikuti shalat Jum’at, maka shalat perempuan
tersebut sah. Jika perempuan tersebut memilih shalat di rumahnya maka
dia harus melaksanakan shalat Zhuhur sebanyak empat rakaat dan dilakukan
sesudah tibanya waktu shalat Zhuhur, yaitu sesudah matahari condong
kebarat. Perempuan tersebut tidak boleh melaksanakan shalat Jum’at di
dalam rumahnya.”[7]
Diriwayatkan oleh Abdurrazaq dalam Mushannaf 3/146 No.5105 dengan sanad yang shahih dari Ibnu Juraij. Ibnu Juraij menceritakan kalau beliau bertanya kepada Atha’, “Bagaimana
pendapat anda bila perempuan keluar dari rumahnya disiang hari lalu
mendengar adzan shalat Jum’at, bolehkah dia turut menghadiri shalat
Jum’at?”
“Bila dia ingin menghadirinya maka tidak apa-apa, dan bila tidak menghadirinya juga tidak apa-apa.” Demikian jawaban Atha’
Ibnu Juraij bertanya lagi, “Bagaimana dengan firman Allâh yang terdapat pada surat al-Jumu’ah [62]: 9, bukankah ayat ini mencakup perempuan dan laki-laki? Dengan tegas Atha’ menjawab, “Tidak”.
Dalam al-Majmu’ 4/495 Imam Nawawi mengatakan, “Telah
kami sampaikan di muka bahwa orang-orang yang tidak wajib melaksanakan
shalat Jum’at seperti budak, perempuan, musafir dan sebagainya
berkewajiban melaksanakan shalat Zhuhur. Bila mereka tidak melaksanakan
shalat Zhuhur dan memilih shalat Jum’at maka hal tersebut sudah
mencukupi berdasarkan kesepakatan ulama sebagaimana yang dinukil Ibnu
Mundzir, Imam Haramain dan lain sebagainya.”
Dalam al-Mughni 2/341 Ibnu Qudamah berkata, “Para
ulama yang saya ketahui semuanya bersepakat bahwa shalat Jum’at tidak
wajib bagi perempuan. Mereka juga bersepakat bila perempuan turut
menghadiri shalat Jum’at maka itu sudah mencukupi untuk mereka. Gugurnya
kewajiban shalat Jum’at bagi mereka adalah untuk memberikan keringanan,
sehingga bila mereka tidak mengambil keringanan tersebut maka hukumnya
boleh seperti halnya orang yang sakit.”
Syaikh Musthafa al-Adawi mengatakan,
“Jika seorang perempuan turut melaksanakan shalat Jum’at bersama kaum
laki-laki maka hal tersebut sudah mencukupi sehingga tidak perlu lagi
melaksanakan shalat Zhuhur, bahkan juga terdapat kesepakatan ulama dalam
hal ini.”
Lajnah Daimah juga menegaskan,” Jika
seorang perempuan turut melaksanakan shalat Jum’at di masjid maka itu
sudah mencukupinya, sehingga tidak perlu lagi shalat Zhuhur. Bahkan
perempuan tersebut tidak boleh melaksanakan shalat Zhuhur pada hari itu.
Namun jika dia shalat sendirian maka perempuan tersebut tidak memiliki
hak kecuali melaksanakan shalat Zhuhur dan tidak boleh melakasanakan
shalat Jum’at.”
Qatadah mengatakan, “Apabila perempuan ikut menghadiri pelaksanaan shalat Jum’at maka wanita tersebut melaksanakan shalat sebanyak 2 rakaat.”
Hasan al-Bashri berkata, “Seorang perempuan yang turut menghadiri shalat Jum’at maka dia shalat mengikuti imam dan hal tersebut sudah mencukupinya.Dahulu para perempuan muhajirin melaksanakan shalat Jum’at bersama
Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan mereka merasa cukup
dengannya tanpa Zhuhur lagi.”
Bagi perempuan yang tidak melaksanakan
shalat Jum’at di masjid berkewajiban melaksanakan shalat Zhuhur. Hal ini
berdasarkan perkataan Ibnu Mas’ud, “Barangsiapa yang tertinggal shalat Jum’at maka hendaklah shalat Zhuhur 4 rakaat.” Bahkan Ibnu Mas’ud mengatakan, “Apabila
kalian para perempuan shalat Jum’at bersama imam masjid maka
kerjakanlah shalat sebagaimana imam tersebut, akan tetapi bila kalian
melaksanakan shalat di rumah maka shalatlah sebanyak 4 rakaat.”
Dalam Subulus Salam, Imam
Shan’ani menegaskan, bahwa pada dasarnya shalat yang ada pada hari
Jum’at adalah shalat Zhuhur sehingga orang yang tertinggal atau tidak
melaksanakan shalat Jum’at maka berkewajiban melaksanakan shalat Zhuhur
berdasarkan kesepakatan ulama.
Fatwa MUI Tentang Perempuan Menjadi Imam Shalat.
Dalam Musyawarah Nasional (Munas) MUI
VII, pada 19-22 Jumadil Akhir 1426 H/26-29 Juli 2005 M, MUI menetapkan
Fatwa Nomor: 9/MUNAS VII/MUI/13/2005 Tentang Wanita Menjadi Imam Shalat.
Menurut MUI, perlu dilakukan untuk
memberikan kepastian hukum dalam syari’at Islam tentang hukum perempuan
menjadi imam shalat, agar dapat dijadikan pedoman bagi umat Islam.
MUI mendasarkan fatwanya pada Kitabullâh, sunnah Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam, ijma’ ulama, dan qaidah-qaidah fiqh. Firman Allâh Subhânhu wa Ta’âlâ antara lain, “Kaum
laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan oleh karena Allâh telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(perempuan)…” (QS al-Nisâ’ [4]: 34)
Sedangkan hadits-hadits Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam, antara lain, ” Rasûlullâh memerintahkan Ummu Waraqah untuk menjadi imam bagi penghuni rumahnya.” (HR Abû Dâwud dan al-Hakîm).
Rasûlullâh bersabda, “Janganlah seorang perempuan menjadi imam bagi laki-laki.” (HR Ibnu Majah)
Rasûlullâh bersabda, “Shaf (barisan
dalam shalat berjamaah) terbaik untuk laki-laki adalah shaf pertama
(depan) dan shaf terburuk bagi mereka adalah shaf terakhir (belakang);
sedangkan shaf terbaik untuk perempuan adalah shaf terakhir (belakang)
dan shaf terburuk bagi mereka adalah shaf pertama (depan).”
Rasûlullâh bersabda, “Shalat dapat terganggu oleh perempuan, anjing dan himar (keledai).” (HR Muslim)
Rasûlullâh bersabda, “(Melaksanakan) shalat yang paling baik bagi perempuan adalah di dalam kamar rumahnya.” (HR Bukhari)
Adapun berdasarkan ijma’ sahabat, di
kalangan mereka tidak pernah ada perempuan yang menjadi imam shalat di
mana di antara makmumnya adalah laki-laki. MUI mengutip kitab Tuhfah Al-Ahwazi
karya al-Mubarakfuri, “Para sahabat juga berijma’ bahwa perempuan boleh
menjadi imam shalat berjamaah yang makmumnya hanya wanita, seperti yang
dilakukan oleh Aisyah dan Ummu Salamah.
Dan berdasarkan qaidah fiqh, “Hukum asal dalam masalah ibadah adalah tauqif dan ittiba’ (mengikuti petunjuk dan contoh dari Nabi).”
Selain itu, MUI juga memerhatikan pendapat para ulama seperti termaktub dalam kitab Al-Umm (Imam Syafi’i), Al-Majmu’ Syarah Al-Muhazzab (Imam Nawawi), dan Al-Mughni (Ibnu Qudamah).
Berdasarkan telaah kitab-kitab tersebut, dan kenyataan bahwa sepanjang masa sejak zaman Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam,
tidak diketahui adanya shalat jamaah di mana imamnya perempuan dan
makmumnya laki-laki. Oleh sebab itu, Sidang Komisi C Bidang Fatwa MUI
memutuskan fatwa. “Dengan bertawakkal kepada Allâh Subhânhu wa Ta’âlâ, MUI memutuskan bahwa perempuan menjadi imam shalat berjamaah yang di antara makmumnya terdapat orang laki-laki hukumnya haram dan tidak sah. Adapun perempuan yang menjadi imam shalat berjamaah yang makmumnya wanita, hukumnya mubah.“
Fatwa ini ditetapkan di Jakarta pada
tanggal 21 Jumadil Akhir 1426 H yang bertepatan dengan 28 Juli 2005 M,
dan ditandatangani oleh Ketua MUI KH Ma’ruf Amin dan Sekretaris
Hasanuddin.
Ikhtitâm
Dari uraian singkat di atas dapat kita
simpulkan bersama bahwa, pelaksanaan shalat jumat bagi kaum perempuan
diperbolehkan, namun hukumnya tidaklah wajib. Hal itu dikarenakan
banyaknya kaum perempuan yang melaksanakan shalat Jumat di masa
Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam, yang pada saat itu Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam tidak melarangnya.
Perintah shalat Jumat dalam al-Qur’ân
dan Hadits oleh para penafsir hanya diperuntukkan atau diwajibkan bagi
kaum pria semata, sehingga shalat jumat bagi kaum wanita hukumnya tidak
diwajibkan, melainkan hanya diperbolehkan. Bagi yang sudah menjalan
shalat Jum’at tidak ada kewajiban untuk shalat Zhuhur.
Terkait tentang perempuan menjadi imam
shalat telah jelas sebagaimana fatwa MUI memutuskan bahwa perempuan
menjadi imam shalat berjamaah yang di antara makmumnya terdapat orang
laki-laki hukumnya haram dan tidak sah. Adapun perempuan yang menjadi imam shalat berjamaah yang makmumnya wanita, hukumnya mubah. Wa Allâhu a’lam bi al-Shawwâb.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar